Langkah Praktis Menyusun Kontrak
Kontrak atau perjanjian pasti sangat dibutuhkan dalam menunjang aktivitas bisnis. Kontrak yang tidak tepat dapat membuat pengusaha terjebak dalam masalah hukum. Agar tak menderita kerugian, pengusaha wajib memahami langkah praktis menyusun kontrak.
Beberapa waktu lalu penulis bertemu dengan pelaku UKM yang bisnisnya lumpuh karena tidak adanya kontrak. Anggaplah namanya Danis. Danis dan beberapa teman di kampusnya membangun usaha ayam potong siap masak bernama Ayam Sedap Rasa. Usahanya ini pun berkembang hingga Ayam Sedap Rasa bekerja sama dengan usaha Frozen Food untuk mendapatkan investor. Ayam Sedap Rasa didaulat menjadi pemasok utama Frozen Food. Kebetulan Ayam Sedap Rasa belum memiliki badan usaha yang berbadan hukum, sehingga yang digunakan adalah PT milik Frozen Food tersebut.
Awalnya Danis dan teman-temannya meminta pemilik Frozen Food untuk membuat kontrak kerja sama dan pembagian keuntungan. Tetapi pemilik Frozen Food selalu menunda dan meminta agar Danis dan teman-temannya percaya saja padanya. Naas tak bisa ditolak, saat pemilik Frozen Food mendapatkan investor, Ayam Sedap Rasa justru dihentikan menjadi pemasok. Keuntungan yang dijanjikan pun tidak diberikan. Akhirnya Danis dan teman-temannya terpaksa menutup sementara usaha Ayam Sedap Rasa, dikarenakan menderita kerugian yang cukup besar. Danis sangat menyesal, andai saja di awal kerja sama ada kontrak yang jelas, tentu dia tidak akan menderita kerugian.
Pertama, identifikasi para pihak. Identifikasi para pihak ditujukan agar diketahui siapa yang membuat kontrak. Identifikasi pembuat kontrak perlu diperhatikan karena akan menentukan boleh atau tidaknya kontrak itu dibuat dan dilaksanakan. Hukum Indonesia tidak memperbolehkan seseorang dibawah usia 21 tahun untuk membuat kontrak. Hal itu berlaku juga bagi wanita yang telah bersuami. Seseorang dengan jabatan tertentu pada suatu bidang usaha juga dilarang membuat kontrak jika perusahaan tidak mengizinkan.
Ketiga, setelah tujuan dan alasan pembuatan kontrak ditentukan, maka menentukan isi kontrak adalah hal berikutnya. Isi kontrak membahas mengenai ruang lingkup dan durasi dari kontrak. Kewajiban-kewajiban, persyaratan-persyaratan dan batasan-batasan apa yang boleh dan tidak boleh diatur dari kontrak itu sendiri harus pula diikutsertakan. Sebagai contoh, jika membuat kontrak jual beli properti maka ketentuan-ketentuan seperti spesifikasi properti, harga, biaya-biaya dan cara pembayaran mutlak untuk dicantumkan didalamnya.
Saat menyusun kontrak, perlu diperhatikan syarat sah kontrak. Tidak terpenuhinya syarat sah kontrak akan mengakibatkan kontrak tidak dapat dilaksanakan. Hukum Indonesia mengatur empat syarat sah kontrak yaitu: sepakat, cakap, memiliki hal tertentu yang diperjanjikan dan mengenai suatu sebab yang diperkenankan oleh hukum.
Memiliki hal tertentu yang diperjanjikan haruslah hal tertentu yang wujudnya dapat dideskripsikan dan dapat dinilai dengan satuan tertentu. Misalnya, jika melakukan perjanjian jual beli Jenglot atau sesuatu yang bernuansa mistis maka perjanjian tak bisa disusun karena wujud jenglot tidak dapat dideskripsikan, meskipun nilainya dapat ditentukan. Sedangkan suatu sebab yang diperkenankan oleh hukum berarti tidak diperbolehkan membuat kontrak untuk tujuan yang dilarang oleh hukum. Contoh kontrak yang dilarang adalah kontrak jual beli senjata api, layanan seksual, perjudian dan penjualan batu karang
RI & AAP
*Ingin mengetahui lebih dalam berbagai informasi menarik di dunia hukum? Ikuti beragam workshop dan pelatihan hukum yang diselenggarakan oleh BPL Foundation dan ProLegal. Informasi lebih lanjut mengenai dapat menghubungi 081294116724/ 082211958277 atau melalui email info@bplfoundation.or.id
Bukankah pasal tentang perempuan bersuami di kuhperdata tidak cakap sudah tidak berlaku smenjak diundangkannya UUP khususnya pasal yg mengatur hak Dan kewajiban suami Dan istri?
Dear Bapak Yudi,
Terima kasih atas pertanyaannya.
Memang benar Pak bahwa aturan mengenai wanita bersuami ini sudah tidak berlaku lagi dengan telah diundangkannya UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, lebih spesifiknya dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2).
Apalagi juga perlu kita ingat ada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 Tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang.
Meski demikian, izin suami kepada istrinya tetap diperlukan dalam hal terkait apabila Istri menandatangani perjanjian yang menyangkut aset / harta.
Seperti kita tahu dalam UUP, suami dan istri secara default dianggap memiliki harta bersama.
Beda kasusnya jika ada perjanjian pranikah (prenuptial agreement) untuk pemisahan harta keduanya.
Karena adanya konsep harta bersama inilah, jika tidak ada prenup tersebut, maka suaminya harus memberikan persetujuan pasangan.
Demikian, semoga bermanfaat.